Menguji Tuhan dalam Ruang Kehidupan
Diposting oleh Admin pada Jum, 28/11/2014 10:13 WIB


Salah satu kegemaran yang kerap kulakukan  saat di kampus dulu adalah berdiskusi.  Banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan berdiskusi dengan orang lain. Di antaranya adalah bertambahnya informasi, timbulnya sikap saling menghargai dan menghormati orang lain. Namun begitu, cross check and balancing informasi perlu dilakukan, sebab bisa akan berakibat fatal bila kita menelan semua informasi yang kita tidak tahu sebelumnya.

Aku dan dua orang temanku Jay dan Hans, hampir tiap malam berdiskusi tentang banyak hal. Namun topik yang memang hangat pada saat itu adalah seputar demonstrasi yang tengah bergejolak di negeri ini.

“Sepertinya Tuhan tidak berpihak pada reformasi di negeri ini!”kata-kata Jay mengagetkanku.
Mengapa juga Nama Tuhan dibawa-bawa?

“Lho, bukankah Tuhan itu ada dalam setiap napas kehidupan?”Tanya Jay lebih jauh.”Begitu juga dengan reformasi yang sekarang tengah bergulir!”

“Hahaha…”Hans terkekeh.”Lupakan saja Tuhan.  Ia sering tidak datang justru saat dibutuhkan manusia!”

Dan diskusi reformasipun bergeser menjadi session curhat Hans. Kakeknya adalah salah satu kepala desa di sebuah kampung di pinggiran Banyuwangi. Beberapa orang yang tak suka pada kakeknya menghasut  warga desa untuk berdemonstrasi dan menurunkan paksa jabatan yang masih tersisa dua tahun lagi.

“Saat itu aku berdoa, agar kakek diberikan perlindungan oleh Tuhan. Tapi yang terjadi kemudian, kakekku malah meninggal,”tutur Hans getir.”Dan entah berapa banyak doa yang seperti busa tiada artinya…”
Sepi untuk beberapa saat, hingga Jay berkata,”Aku pernah baca tentang Max. Bahwa Tuhan itu hanya khayalan manusia, yang ketika berada di tengah badai di lautan lepas, di mana tidak ada satupun pertolongan, mereka akan menyebut-Nya. Segera,  setelah mereka terlepas dari bencana, merekapun akan kembali melupakan nama-Nya!”

“Kalau kalian pernah membaca dialektika Hegel,”sahut Hans, “ ada tesis-antitesis-sintesis. Anggap saja tesis adalah sebuah kesimpulan sementara atas sesuatu, sedangkan antitesis adalah pengujian terhadap  kesimpulan tersebut.    Sintesis adalah hasil akhir,  Apakah makin menguatkan kesimpulan sementara, ataukah sebaliknya...”

“Maksudnya gimana?”tanyaku tertarik.

“Misalkan, kita ambil contoh…”Hans berpikir sebentar sebelum melanjutkan,” tesisnya adalah Tuhan itu ada. Maka antitesisnya adalah Tuhan itu tidak ada. Hasil akhirnya akan menguatkan apakah memang Tuhan itu benar-benar ada ataukah sebaliknya…”

“Wah, hal tersebut khan tak bisa diuji!” kataku.
“Bisa saja kalau kalian mau!”tutur Hans, setengah cuek.
“Caranya?!” aku dan Jay hampir berbarengan saat membuka suara.
“Kalau selama ini kalian menganggap Tuhan itu ada, maka mulai sekarang belajarlah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada!”

Awalnya, aku tak mau mengikuti saran itu. Namun ketika Jay mulai merayuku dengan mengatakan bahwa ‘sometimes we need think out of the box’, akupun mengiyakan, sembari bilang bahwa cukup tiga hari saja mengkafirkan diri.

“Tiga Bulan!”Seru Jay. “Kita perlu komparasi hasilnya berdasarkan data-data peristiwa yang  terjadi. Tiga hari tak representatif.”

Setelah bernegosiasi, akhirnya durasi waktu sebulan kami sepakati dan antitesis itupun dimulai keesokan harinya.

Awalnya aku menikmati antitesis itu. Aku tak perlu bersusah-susah bangun pagi untuk sholat, Tak perlu menyebut namaNya kalau makan, dan tak perlu berdoa bila akan memulai dan mengakhiri segala aktivitas.
Namun, ternyata ada satu momen dimana aku sangat  was-was  bila  tak menyebutkan nama Tuhan. Momen itu adalah saat bepergian atau berada dalam perjalanan. ‘Benar kata Marx, Tuhan sangat dibutuhkan manusia dalam kondisi seperti ini. Jangankan di laut, di darat saja aku merasa sangat cemas terhadap keselamatanku’.
Siang itu, saat mengendarai motor, walaupun telah berhati-hati, tak urung masih tertabrak juga olehku seekor ayam di tengah jalan, hingga mesti mengeluarkan uang empat puluh ribu untuk membayar ganti rugi pada pemiliknya.

Sore harinya, karena masih agak trauma membawa motor sendiri, aku minta bantuan temanku untuk mengantar ke Tunjungan Plaza membeli sebuah baju lengan panjang, yang langsung kupakai saat pulangnya. Saat pulang itulah aku baru tahu bahwa sesungguhnya kemampuan temanku dalam bermotor ria tidak terlalu lihai. Seringkali ketika mendahului kendaraan lain, motor kami ia terlalu dekat dengan kendaraan tersebut. Hingga ketika aku berada dalam kecemasan yang meninggi, segera mulutku bersiap menyeru NamaNya dan meminta perlindunganNya. Namun hal tersebut kuurungkan begitu kuteringat janjiku  untuk menepiskan nama Tuhan selama sebulan.

Tiba-tiba terasa ada yang menarik tangan kiriku ke belakang. Sesuatu sepertinya menyangkut di lengan bajuku, dan membuatku nyaris terjatuh. Secara refleks, kukencangkan tangan kanan pada pegangan motor. Sekuat tenaga kutarik tangan kiriku. Dengan napas lega, akhirnya kuberhasil keluar dari cengkeraman sesuatu yang ku sendiri tak tahu. Kubersyukur lengan bajuku masih utuh.

Di belakangku, terasa ada teriakan kencang memanggil-manggil. Sepertinya kearah kami. Segera kutoleh ke belakang. Sebuah motor jatuh dan dua orang pengendaranya masih tergeletak, terhimpit olehnya. Segera kami kembali, meminta maaf pada korban, kemudian berjanji akan membantu biaya pengobatan dan perbaikan kendaraan.

Tiga hari berikutnya, aku yang dibonceng salah seorang temanku yang lain bertabrakan dengan seorang pengemudi motor   di sebuah lampu merah. Saat itu, lampu jelas-jelas menunjukkan warna hijau, dan kendaraan dari arah kami mulai melaju, setelah sebelumnya terhenti oleh lampu merah. Namun tiba-tiba di sisi kiri, seorang pemuda   dengan ugal-ugalan memacu motornya dan kami tak sempat menghindar dari terjangannya. Kamipun  terjatuh dan terhimpit oleh body motor.
Mengetahui bahwa penabraknya hanya luka ringan, temanku segera menuntut biaya perbaikan  motornya yang rusak. Aku sendiri cukup tahu diri untuk tidak meminta ganti rugi atas kerusakan pada celana baruku yang robek di bagian lutut.

Beberapa kecelakaan kecil yang kualami itu membuatku berpikir, apakah hal itu dikarenakan aku  tidak pernah berdoa lagi sebelum melakukan perjalanan? Kuhubungi Jay dan mengatakan bahwa aku ingin mengakhiri antitesisku pada Tuhan. Kuingin kembali bersimpuh padaNya,  meminta ampunan.
“Bila melakukan sesuatu itu harus konsisten, sebab itu adalah bagian dari citra diri,”tutur Jay, yang membuatku akhirnya bertekad meneruskan antitesis, apapun resikonya.
***
Kami bertiga, Aku, Hans dan Jay berkumpul kembali. Bukan di tempat biasanya, kantin atau asrama sebagaimana kebiasaan kami selama ini. Malam itu kami berada di sebuah ruangan yang semerbak oleh aroma obat-obatan.

“Apa kesimpulan dari diskusi kita tempo hari?”Tanya Hans.
“Maaf, tapi aku masih sangat butuh Tuhan!”jawabku. “Dan, cukup sekali ini saja aku menguji-Nya.  Aku sudah bertobat.”
“Wah, ada yang ketakutan rupanya…”kata Hans meledek.
“Terserahlah, tapi inilah faktanya,”kataku, agak emosional.”Sebelum antitesis, hidupku baik-baik saja. Saat aku menguji-Nya, banyak musibah datang. Tiga kecelakaan kecil, ditambah satu kecelakaan yang membuat nyawa orang lain melayang, adalah episode terburuk dalam hidup…”
“Kalau engkau, Jay?!” Tanya Hans pada seseorang yang dari tadi mendengarkan obrolanku dan Hans. Ia terbaring di  sebuah ruang ICU. Tangan kanannya masih dibalut oleh perban putih, beberapa selang infus masih bercokol di tubuhnya.

“Sebelum antitesis hidupku sudah susah,”katanya, sembari menerawang ke langit-langit.”Setelah melakukannya, hidupku makin parah saja…hahaha…”
Kamipun ikut tertawa, walau sebenarnya prihatin terhadap kondisi Jay. Saat itu ia memang tengah dirawat akibat luka bacokan dua orang tak dikenal yang berniat merampas motornya di sebuah tempat sepi dua hari sebelumnya. Syukurlah, motor itu masih bisa diselamatkan, walau sabetan parang beberapa kali bersarang di tangannya.  Jay sendiri sempat dalam kondisi kritis karenanya. Dua minggu sebelumnya,   sebuah motor yang dipinjam dari temannya,  raib dibawa pencuri.

“Mungkin ini peringatan Tuhan pada kita, Jay!”kataku. “Bukankah yang sebenarnya pantas menguji itu adalah Tuhan?”
“Mungkin kita makhluk yang kurang ajar, yah?!” katanya, tertawa.
“Masih ada pintu taubat. Mari mengetuknya bersama-sama…”himbauku pada Jay.
Setelah beberapa kejadian yang menimpa, aku berniat   mengakhiri antitesis dan memohon ampun Tuhan atas kesalahan yang telah kulakukan.
Sedangkan Jay, sepertinya makin jauh dari Tuhan. Beberapa kali cobaanpun menerpanya. Motor yang dulu ia pertahankan mati-matian saat dirampas orang, akhirnya hilang  dicuri. Kehidupan cintanya, yang sudah berlangsung lama, akhirnya juga kandas. Orang tuanya yang dulunya harmonis, tiba-tiba akan bercerai. Iapun meminta saran apa yang mesti dilakukan.
“Kembalilah, Jay. Kembalilah pada-Nya!” seruku.
“Nggak ada cara lain?!”
“Hanya pada-Nya tempat bersandar. DIA satu-satunya tempat meminta pertolongan!!!”
***
Rumah kontrakan di Jalan Gubeng dekat rel kereta api terasa sepi. Hari telah petang dan Maghrib lima menit lalu telah berkumandang. Aku mesti menunggu beberapa lama sebelum seseorang berkopyah dan bersarung membukakan pintu. Ternyata itu adalah Jay!!!

“Maaf, baru selesai sholat,”katanya. “Eh, sudah sholat belum?!”
Sebuah kemajuan, ia menghimbauku untuk sholat. Padahal dulunya…
 “Tidak berniat melakukan antitesis lagi?!”godaku, setelah selesai menunaikan kewajiban di petang itu.
“Wah, aku sudah dalam tahap sintesis sekarang!”
“Oiya?!”
“Yup,”katanya. ”Tuhan ada bagi yang percaya DIA ada. Kasih sayang-Nya juga terlimpah bagi yang percaya kepada-Nya! Aku menjadi lebih damai sekarang…”
Senang sekali mendengar kata-kata jay yang lebih agamis sekarang. Lebih senang lagi mendengar  penuturannya bahwa ia berbahagia dianugerahi satu orang putra. Kutinggalkan rumah itu dengan sebuah senyum. Syukurlah, doaku agar Jay bisa kembali pada-Nya akhirnya dikabulkan-Nya.